Powered By Blogger

Acne Vulgaris (Jerawat)

03 Januari 2011


Akne vulgaris
Akne vulgaris merupakan suatu gangguan dari unit pilosebasea yang umum dijumpai, dapat sembuh sendiri dan terutama ditemukan pada remaja. Akne vulgaris ditandai dengan adanya papul folikular non inflamasi (komedo) dan adanya papul inflamasi, pustul dan nodul pada bentuk yang berat. Akne vulgaris mengenai daerah kulit dengan populasi kelenjar sebasea yang paling padat; antara lain pada daerah wajah, dada bagian atas, dan punggung.

Epidemiologi
Pada populasi barat, akne vulgaris diperkirakan mengenai 79-95% populasi usia remaja.5 Pada pria dan wanita yang berusia lebih dari 45 tahun, 40-45% diantaranya memiliki akne vulgaris pada wajah, dimana pada 12% wanita dan 3% pria menetap hingga usia pertengahan.6 Meskipun demikian, hanya ada beberapa penelitian mengenai prevalensi akne vulgaris pada remaja di Asia. Dalam suatu penelitian yang dilakukan terhadap 1.045 remaja usia 13-19 tahun di Singapura, hasilnya memperlihatkan bahwa 88% diantaranya ternyata memiliki akne vulgaris. Dari jumlah tersebut, 51,4 % diklasifikasikan sebagai akne vulgaris ringan, 40 % akne vulgaris sedang dan 8,6 % akne vulgaris berat.19 Di RSUP. H. Adam Malik Medan, berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis selama periode Januari – Desember 2008, dari total 5.573 pasien yang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 107 pasien (1,91%) diantaranya merupakan pasien dengan diagnosis akne vulgaris. Dari jumlah tersebut 8,41% berusia 0-12 tahun, 90,6% berusia 13-35 tahun dan hanya 0,93% yang berusia 36-65 tahun. Hal ini menggambarkan bahwa penderita akne vulgaris yang terbanyak adalah usia remaja dan dewasa muda.


Patogenesis
Patogenesis akne vulgaris bersifat multifaktorial. Ada 4 faktor penting yang dianggap berperan dalam perkembangan suatu lesi akne vulgaris. Faktor-faktor tersebut antara lain hiperproliferasi epidermal folikular dengan pembentukan sumbatan pada folikel, peningkatan produksi sebum, adanya dan peningkatan aktivitas P. acnes, dan inflamasi.1,5,20,21
Hiperproliferasi epidermal folikular adalah kejadian yang pertama sekali dikenal dalam perkembangan akne vulgaris. Penyebab pasti yang mendasari hiperproliferasi ini tidak diketahui. Saat ini, ada 3 buah hipotesis yang telah diajukan untuk menjelaskan mengapa epitelium folikular bersifat hiperproliferatif pada individu dengan akne vulgaris. Pertama, hormon androgen, yang telah dikenal sebagai pencetus awal. Komedo, lesi klinis yang menyebabkan pembentukan sumbatan pada muara folikular, mulai timbul disekitar usia pubertas pada orang-orang dengan akne vulgaris. Derajat akne vulgaris komedonal pada usia prapubertas berhubungan dengan kadar hormon androgen adrenal yaitu dehydroepiandrosterone sulphate (DHEA-S). Apalagi, reseptor hormon androgen ditemukan pada folikel-folikel dimana komedo berasal. Selain itu individu dengan malfungsi reseptor androgen ternyata tidak akan mengalami akne vulgaris. Kedua, perubahan komposisi lipid, yang telah diketahui berperan dalam perkembangan akne. Para penderita akne biasanya mempunyai produksi sebum yang berlebihan dan kulit yang berminyak. Produksi sebum yang berlebihan ini dapat melarutkan lipid epidermal normal dan menyebabkan suatu perubahan dalam konsentrasi relatif dari berbagai lipid. Berkurangnya konsentrasi asam linoleat ditemukan pada individu dengan lesi akne vulgaris, dan menariknya, keadaan ini akan normal kembali setelah pengobatan yang berhasil dengan menggunakan isotretinoin. Penurunan relatif asam linoleat dapat mengaktifkan pembentukan komedo. Inflamasi adalah faktor hipotesis ketiga yang terlibat dalam pembentukan komedo. Interleukin-1α adalah suatu sitokin proinflamasi yang telah digunakan pada suatu model jaringan untuk menginduksi hiperproliferasi epidermal folikular dan pembentukan akne vulgaris. Walaupun inflamasi tidak terlihat baik secara klinis maupun mikroskopis pada lesi awal akne vulgaris, ia tetap memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan akne vulgaris dan komedo.1
Peningkatan produksi sebum adalah faktor kunci yang berperan dalam pembentukan akne vulgaris. Produksi dan ekskresi sebum diatur oleh sejumlah hormon dan mediator yang berbeda. Hormon androgen khususnya, meningkatkan pembentukan dan pelepasan sebum. Kebanyakan pria dan wanita dengan akne vulgaris memiliki kadar hormon androgen yang bersirkulasi dalam jumlah yang normal. Sejumlah agen lain seperti GH dan IGF, juga mengatur kelenjar sebasea dan dapat berperan dalam perkembangan akne vulgaris.1
Propionibacterium acnes merupakan suatu organisme mikroaerofilik yang ditemukan pada banyak lesi akne vulgaris. Walaupun tidak ditemukan pada lesi yang paling awal dari akne vulgaris, P. acnes ini hampir pasti dapat ditemukan pada lesi-lesi yang lanjut. Adanya P. acnes akan meningkatan proses inflamasi melalui sejumlah mekanisme. Propionibacterium acnes menstimulasi inflamasi melalui produksi mediator-mediator proinflamasi yang berdifusi melalui dinding folikel. Penelitian terkini menunjukkan bahwa P. acnes mengaktifkan toll-like receptor-2 pada monosit dan neutrofil. Aktivasi toll-like receptor-2 ini kemudian akan memicu produksi sitokin proinflamasi yang multipel, seperti IL-12, IL-8, dan TNF. Hipersensitivitas terhadap P. acnes dapat juga menjelaskan mengapa beberapa individu mengalami akne vulgaris inflamasi sedangkan yang lain tidak.1
Inflamasi mungkin merupakan suatu fenomena primer atau sekunder. Kebanyakan bukti sampai saat ini menyatakan bahwa akne vulgaris merupakan suatu respons inflamasi sekunder terhadap P. acnes. Meskipun demikian, ekspresi IL-1α telah diidentifikasi dalam mikrokomedo dan dapat berperan dalam pembentukan akne vulgaris.1
Faktor-faktor eksternal jarang ditemukan pada akne vulgaris. Beberapa bahan kosmetik dan minyak rambut dapat memperburuk akne vulgaris. Sejumlah obat-obatan seperti steroid, litium, anti epilepsi dan iodium dapat mencetuskan akne vulgaris. Hiperplasia adrenal kongenital, polycystic ovarian syndrome (PCOS), dan kelainan-kelainan endokrin yang lain dengan peningkatan produksi dan pelepasan androgen dapat memicu perkembangan akne vulgaris.1
Akne vulgaris juga dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Goulden dkk., disimpulkan bahwa faktor-faktor familial penting dalam menentukan kerentanan individu untuk menderita akne vulgaris yang persisten. Faktor-faktor genetik dapat menentukan kegagalan folikel-folikel yang mempunyai kecenderungan menjadi akne vulgaris untuk berkembang menjadi folikel-folikel yang resisten terhadap akne vulgaris pada awal usia dewasa.

Gambaran klinis
Lesi kulit pada akne vulgaris berupa komedo, papul, pustul dan nodul pada daerah distribusi sebasea. Ada 3 tipe utama komedo, yaitu mikrokomedo, komedo terbuka (blackhead) dan komedo tertutup (whitehead) tanpa disertai tanda klinis inflamasi.23 Papul dan pustul adalah berupa pembengkakan yang disertai inflamasi. Kulit wajah dapat merupakan satu-satunya daerah yang terkena, tapi dada, punggung, dan lengan atas juga sering terlibat.1
Pada akne vulgaris komedonal, tidak ditemukan adanya lesi-lesi inflamasi. Lesi komedonal merupakan lesi yang paling dini dari akne vulgaris, dan komedo tertutup merupakan prekursor dari lesi-lesi inflamasi. Akne vulgaris inflamasi ringan ditandai dengan adanya komedo dan papul. Akne vulgaris inflamasi sedang ditandai dengan adanya komedo, papul, dan pustul. Jumlah lesinya lebih banyak dibandingkan dengan akne vulgaris inflamasi yang lebih ringan.1
Akne nodulokistik ditandai dengan adanya komedo, lesi-lesi inflamasi, dan nodul dengan diameter yang lebih besar dari 5 mm. Skar sering ditemukan pada akne vulgaris jenis ini.
Akne vulgaris persisten (82%) adalah akne vulgaris yang menetap sejak masa remaja. Mereka memiliki akne vulgaris hampir sepanjang waktu dan dapat mengalami eksaserbasi selama periode menstruasi. Lesi yang timbul cenderung berupa lesi papulonodular, berlokasi di atas seluruh bagian bawah wajah dan leher.
Akne vulgaris onset lambat timbul setelah pubertas dan dapat dibagi menjadi 2, yaitu a) akne vulgaris pada dagu, yaitu akne inflamasi dengan lesi-lesi di sekitar mulut dan dagu, komedo jarang ditemukan, mengenai wanita dan mengalami eksaserbasi selama periode menstruasi, serta cenderung menjadi resisten terhadap pengobatan dan menghasilkan eritema paska inflamasi dengan hipo- atau hiperpigmentasi dan skar, serta b) akne vulgaris sporadik, yaitu akne vulgaris yang timbul kemudian tanpa alasan yang jelas atau berhubungan dengan suatu penyakit sistemik. Jenis ini dapat berlokasi dimana saja. Pada penderita yang berusia lebih dari 60 tahun, lesi ini tampaknya lebih sering pada daerah badan dibandingkan wajah.
Tidak diketahui alasan mengapa akne vulgaris persisten pada orang dewasa. Wanita dengan akne vulgaris persisten memiliki sekresi sebum yang lebih besar dibandingkan yang tanpa akne vulgaris, dan rokok tampaknya menjadi suatu faktor predisposisi bagi keadaan ini sedangkan faktor-faktor eksternal lain seperti kosmetik, obat-obatan, atau jenis pekerjaan tidak mempunyai pengaruh apapun.24 Akne vulgaris non inflamasi (dengan mikro dan makro komedo) dilaporkan lebih sering pada wanita perokok dibandingkan bukan perokok pada wanita usia 25-50 tahun (41,5% berbanding 9,7%)25, suatu fakta yang dikonfirmasi dari penelitian yang dilakukan oleh Schäfer dkk. tahun 2001 yang menyatakan bahwa prevalensi akne vulgaris lebih besar terlihat pada perokok (40,8%) dibandingkan bukan perokok (25,5%).26 Merokok tampaknya menjadi suatu faktor yang berperan penting dalam meningkatkan prevalensi dan menambah derajat keparahan akne vulgaris. Kira-kira 50% pasien memiliki riwayat menderita akne vulgaris post adolescent24 dalam keluarga derajat pertamanya, suatu faktor yang diketahui meningkatkan resiko terkena akne vulgaris pada usia dewasa sebesar 3,93 %.22
Sekitar 85% wanita melaporkan gejala-gejala yang memburuk selama periode premenstruasi. Sekitar sepertiga dari wanita-wanita ini memiliki keadaan hiperandrogenisme.24 Hiperandrogenisme harus dipertimbangkan pada pasien wanita dengan akne vulgaris yang berat, onset yang mendadak, atau berhubungan dengan hirsutisme atau gangguan siklus menstruasi. Gejala klinis tambahan hiperandrogenisme antara lain gambaran cushingoid, peningkatan libido, klitoromegali, suara yang lebih berat, akantosis nigrikans, dan alopesia androgenetika. Wanita dengan hiperandrogenisme dapat memiliki resistensi insulin. Mereka memiliki resiko lebih besar untuk terkena penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus.27 Pasien dengan keadaan seperti ini dan mereka dengan akne vulgaris onset lambat dapat memiliki gangguan metabolik androgen perifer, ovarium dan adrenal sehingga memerlukan pemeriksaan khusus.24
Berbagai riwayat pengobatan dalam keluarga harus benar-benar diteliti dan mengeksklusi faktor-faktor pencetus sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu obat-obatan, bahan kosmetik komedogenik, dan rokok.


Faktor resiko dan Etiologi
Faktor resiko dan penyebab akne sangat banyak yaitu multifaktorial antara lain :
1) Sebum. Merupakan faktor utama penyebab timbulnya akne.
2) Genetik. Faktor herediter yang sangat berpengaruh pada besar dan aktivitas kelenjar glandula sebasea. Apabila kedua orang tua mempunyai parut bekas akne, kemungkinan besar anaknya akan menderita akne.
3) Usia. Umumnya insiden terjadi pada sekitar umur 14 – 17 tahun pada wanita, 16 – 19 tahun pada pria dan pada masa itu lesi yang predominan adalah komeda dan papul dan jarang terlihat lesi beradang penderita (Djuanda, Hamzah dan Aisyah, 1999).
4) Jenis kelamin. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dan Akne vulgaris. (Nami, 2009).
5) Kebersihan wajah. Meningkatkan perilaku kebersihan diri dapat mengurangi kejadian akne vulgaris pada remaja (Nami, 2009).
6) Psikis. Pada beberapa penderita, stres dan gangguan emosi dapat menyebabkan eksaserbasi akne. Kecemasan menyebabkan penderita memanipulasi aknenya secara mekanis, sehingga terjadi kerusakan pada dinding folikel dan timbul lesi yang beradang yang baru (Goggin et al, 1999).
7) Hormon endokrin:
a) Androgen. Konsentrasi testosteron dalam plasma penderita akne pria tidak berbeda dengan yang tidak menderita akne. Berbeda dengan wanita, pada testosteron plasma sangat meningkat pada penderita akne (Pochi, Frorstrom & Lim James, 2006).
b) Estrogen. Pada keadaan fisiologi, estrogen tidak berpengaruh terhadap produksi sebum. Estrogen dapat menurunkan kadar gonadotropin yang berasal dari kelenjar hipofisis. Hormon gonadotropin mempunyai efek menurunkan produksi sebum.
c) Progesteron. Progesteron, dalam jumlah fisiologis tidak mempunyai efek terhadap efektivitas terhadap kelenjar lemak. Produksi sebum tetap selama siklus menstruasi, akan tetapi kadang-kadang progesteron dapat menyebabkan akne premenstrual (Suyono, 2002).

8) Diet. Pada penderita yang makan banyak karbohidrat dan zat lemak, tidak dapat dipastikan akan terjadi perubahan pada pengeluaran sebum atau komposisinya karena kelenjar lemak bukan alat pengeluaran lemak yang kita makan.
9) Iklim. Di daerah yang mempunyai empat musim, biasanya akne bertambah hebat pada musim dingin, sebaliknya kebanyakan membaik pada musim panas. Bertambah hebatnya akne pada musim panas tidak disebabkan oleh sinar UV melainkan oleh banyaknya keringat pada keadaan yang sangat lembab dan panas tersebut.
10) Bakteria. Mikroba yang terlibat pada terbentuknya akne adalah corynebacterium acnes, Stafilococcus epidermidis, dan pityrosporum ovale.
11) Kosmetika. Pemakaian bahan-bahan kosmetika tertentu seperti, bedak dasar (faundation), pelembab (moisturiser), krem penahan sinar matahari (sunscreen), dan krem malam secara terus menerus dalam waktu lama dapat menyebabkan suatu bentuk akne ringan yang terutama terdiri dari komedo tertutup dan beberapa lesi papulopustular pada pipi dan dagu.


Penatalaksanaan akne vulgaris
Penatalaksanaan akne vulgaris meliputi usaha untuk mencegah terjadinya erupsi (preventif) dan usaha untuk menghilangkan jerawat yang terjadi (kuratif). Kedua usaha tersebut harus dilakukan bersamaan mengingat bahwa kelainan ini terjadi akibat pengaruh berbagai faktor, baik faktor internal dari dalam tubuh sendiri (ras, familial, hormonal), maupun faktor eksternal (makanan, musim, stres) yang kadang-kadang tidak dapat dihindari oleh penderita (Djuanda, Hamzah dan Aisyah, 1999).







Tidak ada komentar:

Posting Komentar