Powered By Blogger

Perilaku Patient Safety

5 Agustus 2011

Tenaga kesehatan secara umum merupakan satu kesatuan tenaga
yang terdiri dari tenaga medis, tenaga perawatan, tenga kebidanan, tenaga paramedis non perawatan dan tenaga non medis. Dari semua katagori tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit, tenaga perawatan merupakan tenaga terbanyak dan mereka mempunyai waktu kontak dengan pasien lebih lama dibandingkan tenaga kesehatan yang lain, sehingga mereka mempunyai peranan penting dalam menentukan baik buruknya mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Namun demikian, harus diakui bahwa peran bidan dalam memberikan pelayanan yang bermutu masih membutuhkan perhatian dari pihak manajemen. Salah satu indikator tentang pelayanan kesehatan ini dilihat dari angka kematian pasien baik yang meninggal kurang dari 48 jam maupun lebih dari 48 jam.
 sistem asuhan kebidanan menggunakan metode penugasan kasus, disini setiap bidan ditugaskan untuk melayani seluruh kebutuhan pasien saat dinas. Pasien akan dirawat oleh bidan yang berbeda untuk setiap shift dan tidak ada jaminan bahwa pasien akan dirawat oleh orang sama pada hari berikutnya.
Asuhan kebidanan mempunyai tujuan antara lain mencegah terjadinya kondisi memburuk dan komplikasi melalui observasi dan monitoring yang ketat disertai kemampuan untuk menginterpretasikan setiap data yang didapat dan melakukan tindakan lanjut. Seorang tenaga kebidanan profesional yang menjalankan pekerjaan berdasarkan ilmu sangat berperan dalam penanggulangan tingkat komplikasi penyakit, terjadinya infeksi nosokomial dan memperpendek hari rawat. Hal ini termasuk langkah menuju penerapan program keselamatan pasien (patient safety).
Program patient safety adalah untuk menjamin keselamatan pasien di rumah sakit melalui pencegahan terjadinya kesalahan dalam memberikan pelayanan kesehatan antara lain : infeksi nosokomial, pasien jatuh, pasien dicubitus, plebitis pada pemasangan infus, tindakan bunuh diri yang bisa dicegah, kegagalan profilaksis.

Sikap Mendukung patient safety
Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Dalam interaksi sosial terjadi hubungan saling mempengaruhi diantara individu yang satu dengan yang lain, terjadi
hubungan timbal balik yang mempengaruhi pola perilaku masingmasing individu. Individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap obyek psikologis yang dihadapi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap diantaranya adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi pendidikan atau agama dan faktor emosi dalam diri individ.
Apa yang dialami seseorang akan membentuk dan mempengaruhi penghayatan seseorang terhadap stimulus, yang kemudian akan membentuk sikap positif atau negatif. Disamping itu, orang-orang disekitar juga mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita anggap penting, seseorang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah dan pendapat kita, akan mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. Makna tersebut bahwa perubahan sikap individu dipengaruhi oleh adanya faktor internal bidan (pengetahuan dan motivasi) dan faktor eksternal antara lain : adanya kebijakan, standart, prosedur juga lingkungan dimana individu berada.

2.1. Konsep Perilaku
2.1.1 Definisi Perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Jadi yang dimaksud perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan sangat luas antara lain, berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007). Perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yakni :
1. Faktor-faktor Predisposing (predisposing faktor)
Faktor-faktor predisposing adalah faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisikan terjadinya perilaku seseorang. Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.
2. Faktor-faktor Pemungkin (enabling faktor)
Faktor-faktor pemungkin adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut juga faktor pendukung. Misalnya Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit, tempat pembuangan air, tempat pembuangan sampah, dan sebagainya.
3. Faktor-faktor penguat (reinforcing faktor)
Faktor-faktor penguat adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang meskipun orang mengetahui untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun dari pemerintah daerah terkait dengan kesehatan.

2.1.2 Domain Perilaku
Menurut Bloom, seperti dikutip Notoatmodjo (2003), membagi perilaku itu didalam 3 domain (ranah/kawasan), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan, yaitu mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut, yang terdiri dari ranah kognitif (kognitif domain), ranah affektif (affectife domain), dan ranah psikomotor (psicomotor domain).
Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan dan untuk kepentingan pengukuran hasil, ketiga domain itu diukur dari :
1. Pengetahuan (knowlegde)
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Tanpa pengetahuan seseorang tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi.
Faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan seseorang :
1) Faktor Internal : faktor dari dalam diri sendiri, misalnya intelegensia, minat, kondisi fisik.
2) Faktor Eksternal : faktor dari luar diri, misalnya keluarga, masyarakat, sarana.
3) Faktor pendekatan belajar : faktor upaya belajar, misalnya strategi dan metode dalam pembelajaran.
Pengetahuan yang harus dimiliki bidan tentang patient safety adalah mencakup apa yang diketahui oleh seseorang tentang patient safety . Pengetahuan tentang patient safety meliputi :
a. Pengetahuan tentang risiko yang bisa saja terjadi bila tidak menerapkan program patient safety.
b. Pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi keselamatan pasien.
c. Pengetahuan tentang fasilitas pelayanan yang tersedia.
d. Pengetahuan untuk menghindari kecelakaan dan kesalahan.

2. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok :
1) Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek
2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)
Sikap bidan terhadap patient safety adalah pendapat atau penilaian orang terhadap hal-hal yang berkaitan dengan patient safety, yang mencakup sekurang-kurangnya 4 variabel yaitu :
a. Sikap terhadap risiko yang bisa terjadi bila tidak. menerapkan program patient safety
b. Sikap tentang faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi
keselamatan pasien.
c. Sikap tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia.
d. Sikap untuk menghindari kecelakaan dan kesalahan.

3. Praktik atau tindakan (practice)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan faktor dukungan (support) praktik ini mempunyai beberapa tingkatan.
Praktik patient safety atau tindakan untuk patient safety adalah semua kegiatan atau aktivitas orang dalam rangka patient safety. Tindakan atau praktik patient safety ini juga meliputi 4 faktor yaitu:
Aspek perilaku di dalam patient safety
a. Tindakan atau praktik sehubungan dengan risiko yang bisa saja terjadi bila tidak menerapkan patient safety.
b. Tindakan atau praktik sehubungan faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi keselamatan pasien. 
c. Tindakan atau praktik sehubungan fasilitas pelayanan yang tersedia.
d. Tindakan atau praktik sehubungan untuk menghindari kecelakaan dan kesalahan.

Disimpulkan bahwa perilaku seseorang (bidan) tentang program
patient safety ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku. Seorang perawat yang tidak mau menerapkan keselamatan pasien disebabkan karena orang tersebut tidak atau belum mengetahui manfaat dari program patient safety bagi dirinya.

Konsep Patient Safety
1. Pengertian
Patient safety adalah pasien bebas dari cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari cedera yang potensial akan terjadi (penyakit,cedera fisik/sosial psikologis, cacat, kematian ) terkait dengan pelayanan kesehatan (KKP-RS, 2008). Patient Safety (keselamatan pasien) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk : assesment resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang di sebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (DepKes,2006).

2. Kebijakan DepKes tentang keselamatan pasien rumah sakit antara lain:
a. Terciptanya budaya keselamatan pasien dirumah sakit.
b. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.
c. Menurunnya Kejadian Tak Diharapkan (KTD).
d. Terlaksananya program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD.
 
3. Kebijakan patient safety di rumah sakit antara lain:
a. Rumah Sakit wajib melaksanakan sistim keselamatan pasien.
b. Rumah Sakit wajib melaksanakan 7 langkah menuju keselamatan pasien.
c. Rumah Sakit wajib menerapkan standart keselamatan pasien.
d. Evaliasi pelaksanaan keselamatan pasien akan dilakukan melalui program
akreditasi rumah sakit.

4. Sistim keselamatan pasien rumah sakit :
a. Pelaporan insiden, laporan bersifat anonim dan rahasia.
b. Analisa, belajar, riset masalah dan pengembangan taxonomy.
c. Pengembangan dan penerapan solusi serta monitoring/evaluasi.
d. Penetapan panduan, pedoman, SOP, standart indikator keselamatan pasien berdasarkan pengetahuan dan riset.
e. Keterlibatan serta pemberdayaan pasien dan keluarganya.
5. Standar patient safety (DepKes.2006)
Standar I. Hak pasien
Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya kejadian tak diharapkan.
Kriteria:
a. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.
b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan.
c. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan dan prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan KTD
Standar II. Mendidik pasien dan keluarga.
Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung pasien dalam asuhan pasien. Keselamatan pasien dalam pemberian pelayanan dapat di tingkatkan dengan keterlibatan pasien yang merupakan patner dalam proses pelayanan. Karena itu di rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
Kriteria:
a. Memberi informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur.
b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.
c. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.
d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.
e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit.
f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.
g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.
Standar III. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan.
Rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi
antar tenaga dan antar unit pelayanan.
Kriteria:
a. Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan
pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit.
b. Terdapat koordinasi pelayanan yang di sesuaikan dengan kebutuhan pasien
dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan transaksi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar.
c. Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya.
d. Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.
Standar IV :
Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif , dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.
Kriteria:
a. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perencanaan yang baik, mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat dan faktor-faktor lain yang berpotensi resiko bagi pasien sesuai dengan ” langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit”
b. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja antara lain yang terkait dengan : pelaporan insiden, akreditasi, menejemen resiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan.
c. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua KTD/KNC, dan secara proaktif melakukan evaluasi suatu proses kasus resiko tinggi.
d. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk menentukan perubahan sistem yang di perlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin.
Standar V. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien.
1. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan ”7 langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit”.
2. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi KTD/KNC.
3. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien.
4. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji dan meningkatkan kinerja rumah rakit serta meningkatkan keselamatan pasien.
5. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja Rumah Sakit dan keselamatan pasien.
Kriteria:
a. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
b. Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program meminimalkan insiden, yang mencakup jenis kejadian yang memerlukan perhatian, mulai dari KNC(Near miss) sampai dengan KTD(Adverse event).
c. Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan pasien.
d. Tersedia prosedur ”cepat tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi yang benar dan jalas untuk keperluan analisis.
e. Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden termasuk penyediaan informasi yang benar danjelas tentang analisis akar masalah (RCA) kejadian pada saat program keselamatan pasien mulai di laksanakan.
f. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden atau
kegiatan proaktif untuk memperkecil resiko, termasuk mekanisme untuk mendukung staf dalam kaitan dengan kejadian.
g. Terdapat kolaburasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar pengelola pelayanan di dalam Rumah Sakit dengan pendekatan antar disiplin.
h. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang di butuhkan dalam kegiatan perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan Keselamatan Pasien, termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut.
i. Tersedia sasaran terukur dan pengumpulan informasi menggunakan criteria obyektif untuk mengevaluasi efektifitas perbaikan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan implementasinya.
Standar VI. Mendidik staf tentang keselamatan pasien.
1. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaiatan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas.
2. Rumah sakit menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.
Kriteria:
a. Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik tentang keselamatan paien sesuai dangan tugasnya masing- masing.
b. Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan inservice training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.
c. Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaburatif dalam rangka melayani pasien.
Standar VII.
Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
1. Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen
informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi
internal dan eksternal
2. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.
Kriteria:
a. Perlu di sediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal- hal terkait dengan keselamatan pasien.
b. Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang ada.
6. Langkah penerapan program patient safety (DepKes.2006)
1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien.
2. Membangun komitmen dan fokus yang jelas tentang keselamatan pasien.
3. Membangun sistem dan proses managemen resiko serta melakukan identifikasi dan assessmen terhadap potensial masalah.
4. Membangun sistim pelaporan.
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien.
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien dengan melakukan analisis akar masalah.
7. Mencegah cedera melalui implementasi sistim keselamatan pasien dengan menggunakan informasi yang ada.
7. Pendekatan komprehensif pengkajian keselamatan pasien(Anshar.2010) Pengkajian pada keselamatan pasien secara garis besar dibagi atas: struktur, lingkungan, peralatan dan teknologi, proses, orang dan budaya.
a. Struktur
1. Kebijakan dan prosedur organisasi : terdapat kebijakan dan prosedur tetap yang telah dibuat dengan mempertimbangkan keselamatan pasien.
2. Fasilitas : fasilitas dibangun untuk meningkatkan keamanan.
3. Persediaan : hal – hal yang dibutuhkan sudah tersedia seperti persediaan di ruang emergency.
b. Lingkungan
1. Pencahayaan dan permukaan berkontribusi terhadap pasien jatuh atau cedera.
2. Temperatur : pengkondisian temperatur dibutuhkan dibeberapa ruangan seperti ruang operasi.
3. Kebisingan : lingkungan yang bising dapat menjadi distraksi saat perawat sedang memberikan pengobatan dan tidak terdengarnya sinyal alarm dari perubahan kondisi pasien.
4. Ergonomic dan fungsional : ergonomic berpengaruh terhadap
penampilan seperti teknik memindahkan pasien, jika terjadi kesalahan dapat menimbulkan pasien jatuh atau cedera. Selain itu penempatan material di ruangan apakah sudah disesuaikan dengan fungsinya seperti pengaturan tempat tidur , jenis , penempatan alat sudah mencerminkan keselamatan pasien. 
c. Peralatan dan teknologi
1. Fungsional : perawat harus mengidentifikasi penggunaan alat dan desain dari alat. perkembangan kecanggihan alat sangat cepat sehingga diperlukan pelatihan untuk mengoperasikan alat secara tepat dan benar.
2. Keamanan : alat – alat yang digunakan juga harus didesain penggunaannya dapat meningkatkan keselamatan pasien.
d. Proses
1. Desain kerja : desain proses yang tidak dilandasi riset yang adekuat dan kurangnya penjelasan dapat berdampak terhadap tidak konsisten perlakuan pada setiap orang hal ini akan berdampak terhadap kesalahan. Untuk mencegah hal tersebut harus dilakukan research based practice yang diimplementasikan.
2. Karakteristik risiko tinggi : melakukan tindakan keperawatan yang terus – menerus saat praktek akan menimbulkan kelemahan, dan penurunan daya ingat hal ini dapat menjadi risiko tinggi terjadinya kesalahan atau lupa oleh karena itu perlu dibuat suatu sIstem pengingat untuk mengurangi kesalahan.
3. Waktu : waktu sangat berdampak pada keselamatan pasien hal ini lebih mudah tergambar ada pasien yang memerlukan resusitasi, yang dilanjutkan oleh beberapa tindakan seperti pemberian obat dan cairan, intubasi dan defibrilasi dan pada pasien – pasien emergency oleh karena itu pada saat – saat tertentu waktu dapat menentukan apakah pasien selamat atau tidak.
4. Perubahan jadwal dinas perawat juga berdampak terhadap keselamatan pasien karena perawat sering tidak siap untuk melakukan aktivitas secara baik dan menyeluruh.
5. Waktu juga sangat berpengaruh pada saat pasien harus dilakukan
tindakan diagnostik atau ketepatan pengaturan pemberian obat seperti pada pemberian antibiotik atau tromblolitik, keterlambatan akan mempengaruhi terhadapap diagnosis dan pengobatan. 
6. Efisiensi : keterlambatan diagnosis atau pengobatan akan
memperpanjang waktu perawatan tentunya akan meningkatkan
pembiayaan yang harus di tanggung oleh pasien.
e. Orang
1. Sikap dan motivasi : sikap dan motivasi sangat berdampak kepada kinerja seseorang. Sikap dan motivasi yang negatif akan menimbulkan kesalahan-kesalahan
2. Kesehatan fisik : kelelahan, sakit dan kurang tidur akan berdampak kepada kinerja dengan menurunnya kewaspadaan dan waktu bereaksi seseorang
3. Kesehatan mental dan emosional : hal ini berpengaruh terhadap perhatian akan kebutuhan dan masalah pasien. tanpa perhatian yang penuh akan terjadi kesalahan – kesalahan dalam bertindak
4. Faktor interaksi manusia dengan teknologi dan lingkungan : bidan memerlukan pendidikan atau pelatihan saat dihadapkan kepada penggunaan alat – alat kesehatan dengan teknologi baru dan perawatan penyakit – penyakit yang sebelumnya belum tren seperti perawatan flu babi.
5. Faktor kognitif , komunikasi dan interpretasi : kognitif sangat
berpengaruh terhadap pemahaman kenapa terjadinya kesalahan (error). Kognitif seseorang sangat berpengaruh terhadap bagaimana cara membuat keputusan , pemecahan masalah baru mengkomunikasikan hal – hal yang baru.
f. Budaya
1. Faktor budaya sangat bepengaruh besar terhadap pemahaman kesalahan dan keselamatan pasien.
2. Filosofi tentang keamanan ; keselamatan pasien tergantung kepada filosofi dan nilai yang dibuat oleh para pimpinanan pelayanan kesehatan.
3. Jalur komunikasi : jalur komunikasi perlu dibuat sehingga ketika terjadi kesalahan dapat segera terlaporkan kepada pimpinan (siapa yang berhak melapor dan siapa yang menerima laporan). 
4. Budaya melaporkan , terkadang untuk melaporkan suatu kesalahan mendapat hambatan karena terbentuknya budaya blaming . Budaya menyalahkan (Blaming) merupakan phenomena yang universal. Budaya tersebut harus dikikis dengan membuat protap jalur komunikasi yang jelas.
5. Staff – kelebihan beban kerja, jam dan kebijakan personal. Faktor lainnya yang penting adalah system kepemimpinan dan budaya dalam merencanakan staf, membuat kebijakan dan mengantur personal termasuk jam kerja, beban kerja, manajemen kelelahan, stress dan sakit. 

SOLUSI
Solusi live-saving keselamatan pasien rumah sakit (KKPRS.2007).
WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei 2007 resmi menerbitkan “Nine Life Saving Patient Safety Solutions” (“Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit”). Panduan ini mulai disusun sejak tahun 2005 oleh pakar keselamatan pasien dan lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien. Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat, mampu mencegah atau mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses pelayanan kesehatan. Sembilan Solusi ini merupakan panduan yang sangat bermanfaat membantu rumah sakit memperbaiki proses asuhan pasien yang berguna untuk menghindari cedera maupun kematian yang dapat dicegah.
Solusi tersebut antara lain adalah :
a. Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike medication names). 
Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang membingungkan staf pelaksana adalah salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat (medication error) dan ini merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia.
b.  Pastikan identifikasi pasien.
Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi
pasien secara benar sering mengarah kepada kesalahan pengobatan, transfusi maupun pemeriksaan, pelaksanaan prosedur yang keliru, orang penyerahan bayi kepada bukan keluarganya. 
c.  Komunikasi secara benar saat serah terima / pengoperan Pasien.
Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien antara unit-unit pelayanan, dan didalam serta antar tim pelayanan, bisa mengakibatkan terputusnya kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat, dan potensial dapat mengakibatkan cedera terhadap pasien. Rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien termasuk penggunaan protokol untuk mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis; memberikan kesempatan bagi para praktisi untuk bertanya dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada saat serah terima,dan melibatkan para pasien serta keluarga dalam proses serah terima. 
d. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar.
Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah. Kasuskasus dengan pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang salah sebagian besar adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak adanya informasi atau informasinya tidak benar. Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap kesalahan-kesalahan macam ini adalah tidak ada atau kurangnya proses pra-bedah yang distandardisasi. 
e. Kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated).
Sementara semua obat-obatan, biologis, vaksin dan media kontras memiliki profil risiko, cairan elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi khususnya adalah berbahaya. Rekomendasinya adalah membuat standardisasi dari dosis, unit ukuran dan istilah, dan pencegahan atas campur aduk / bingung tentang cairan elektrolit pekat yang spesifik.
f. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan.
Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi /pengalihan. Rekonsiliasi (penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatu proses yang didesain untuk mencegah salah obat (medication errors) pada titik-titik transisi pasien. Rekomendasinya adalah menciptakan suatu daftar yang paling lengkap dan akurat dari seluruh medikasi yang sedang diterima pasien juga disebut sebagai “home medication list", sebagai perbandingan dengan daftar saat admisi, penyerahan dan / atau perintah pemulangan bilamana menuliskan perintah medikasi, dan dikomunikasikan daftar tersebut kepada petugas layanan yang berikut dimana pasien akan ditransfer
atau dilepaskan.
g. Hindari salah kateter dan salah sambung slang (tube).
Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain sedemikian rupa agar mencegah kemungkinan terjadinya KTD yang bisa menyebabkan cedera atas pasien melalui penyambungan spuit dan slang yang salah, serta memberikan medikasi atau cairan melalui jalur yang keliru. Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi secara detail / rinci bila sedang mengerjakan pemberian medikasi serta pemberian makan (misalnya slang yang benar), dan bilamana menyambung alat-alat kepada pasien (misalnya menggunakan sambungan & slang yang benar). 
h. Gunakan alat injeksi sekali pakai.
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV,
HBV, dan HCV yang diakibatkan oleh pakai ulang dari jarum suntik.Rekomendasinya adalah perlunya melarang pakai ulang jarum di fasilitas layanan kesehatan, pelatihan periodik para petugas di lembagalembaga layanan kesehatan khususnya tentang prinsip-pninsip pengendalian infeksi, edukasi terhadap pasien dan keluarga, mengenai penularan infeksi melalui darah, dan praktek jarum sekali pakai yang aman. 
i. Tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk pencegahan infeksi nosokomial.
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia menderita infeksi yang diperoleh di rumah-rumah sakit. Kebersihan tangan yang efektif adalah ukuran preventif yang primer untuk menghindarkan masalah ini. Rekomendasinya adalah mendorong implementasi penggunaan cairan “alcohol-based hand-rubs" tersedia pada titik-titik pelayan, tersedianya sumber air pada semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan tangan yang benar mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat kerja, dan pengukuran kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui pemantauan / observasi dan tehnik-tehnik yang lain.

Indikator Patient safety
Indikator patient safety antara lain : Komplikasi anesthesi, angka kematian yang rendah, ulkus dekubitus, kematian oleh karena komplikasi pada pasien rawat inap, benda asing tertinggal selama prosedur, pneumotoraks iatrogenic, Infeksi akibat perawatan, patah tulang pascaoperasi, pendarahan atau hematoma pascaoperasi, gangguan fisiologis dan metabolik pascaoperasi, kegagalan pernapasan pascaoperasi, pulmonary embolism atau deep vein thrombosis, sepsis pascaoperasi, luka pada pasien bedah abdominopelvik, luka tusukan dan laserasi, reaksi transfusi, trauma lahir - cedera pada neonatus, trauma kebidanan oleh karena persalinan dengan instrument, trauma kebidanan oleh karena persalinan tanpa instrument, trauma kebidanan - kelahiran sesaria.

Elemen patient safety meliputi: Kesalahan pengobatan yang merugikan , menggunakan restraint, infeksi nosokomial, kecelakaan bedah , luka karena tekanan(dicubitus), keamanan produk darah , resistensi antimikrobial, Imunisasi, falls (jatuh), darah stream(aliran), perawatan kateter pembuluh darah serta tindak lanjut dan pelaporan insiden keselamatan pasien. Akar penyebab kesalahan keselamatan pasien paling umum disebabkan antara lain: Masalah komunikasi, kurangnya informasi, masalah manusia, pasien yang berhubungan dengan isu-isu, transfer pengetahuan dalam organisasi, staffing pola / alur kerja, kegagalan teknis, kurangnya kebijakan dan prosedur. Tujuan umum keamanan pasien antara lain : Mengidentifikasi pasien dengan benar, meningkatkan komunikasi yang efektif, meningkatkan keamanan obat, hilangkan salah tempat, salah-pasien, prosedur tindakan yang salah, mengurangi resiko infeksi terkait perawatan kesehatan dan mengurangi risiko bahaya pasien dari jatuh (AHRQ) .

Strategi keselamatan bekerja
Strategi keselamatan dalam bekerja sangat berhubungan erat dengan pengenalan dan pengendalian bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh kelelahan, tekanan batin (stres), kebisingan, radiasi maupun zat-zat beracun lainnya, terhadap kondisi fisik manusia, pikiran dan sikap tingkah laku para pegawai. Faktor – faktor yang mempunyai hubungan yang sangat erat dengan sistem
kerja yang bersumber pada kesalahan manusianya, sehingga factor manusia yang mengakibatkan kecelakaan tersebut adalah karena : Menggunakan peralatan yang tidak aman. menjalankan peralatan kerja yang tidak tahu caranya, .menempatkan bahan-bahan yang tidak aman pada kondisi lingkungan, merusak alat-alat keselamatan kerja sehingga berakibat tidak baik, salah menggunakan alat kerja.
karena gangguan orang lain. Kesalahan di atas ditimbulkan oleh manusianya karena antara lain : Ceroboh,, kurang pertimbangan, malas, tidak tenang, kurang hati–hati, kurang terlatih, kurang terampil, kurang pengawasan, merasa sudah tahu padahal tidak tahu.

Peran bidan dalam menerapkan keselamatan pasien
Sebagai pemberi pelayanan kebidanan, bidan mematuhi standart pelayanan dan SOP yang ditetapkan. Menerapkan prinsip-prinsip etik dalam pemberian pelayanan kebidanan. Memberikan pendidikan kepada pasien dan keluarga tentang asuhan yang diberikan. Menerapkan kerjasama tim kesehatan yang handal dalam pemberian pelayanan kesehatan. Menerapkan komunikasi yang baik terhadap pasien dan keluarganya. Peka, proaktif dan melakukan penyelesaian masalah terhadap kejadian tidak diharapkan. Mendokumentasikan dengan benar semua asuhan kebidanan yang diberikan kepada pasien dan keluarga.
 
Manfaat penerapan sistim keselamatan pasien antara lain : Budaya safety meningkat dan berkembang Komunikasi dengan pasien berkembang Kejadian tidak diharapkan menurun. peta KTD selalu ada dan terkini, Resiko klinis menurun, Keluhan dan litigasi berkurang, Mutu pelayanan meningkat, Citra rumah sakit dan kepercayaan masyarakat meningkat.
 
Kewajiban bidan secara umum terhadap keselamatan pasien adalah
Mencegah malpraktek dan kelalaian dengan mematuhi standart. Melakukan pelayanan keperawatan berdasarkan kompetensi. Menjalin hubungan empati dengan pasien. Mendokumentasikan secara lengkap asuhan. Teliti, obyektif dalam kegiatan. Mengikuti peraturan dan kebijakan institusi. Peka terhadap terjadinya cedera.

1 komentar: